Rabu, 03 Februari 2010

belum ada judul nih

“Ngiung… Ngiung….”
Bunyi sirine itu terus terdengar memecah malam diluar sana. Belum lagi pendar-pendar sinar merah –biru itu yang terus menyala bergantian menembus jendela rumah besar ini. Semua itu benar-benar membuat kepalaku berputar cepat, membuatku teramat pening.
“Ma, Roma….” Panggilan itu begitu lirih, hampir terdengar seperti desahan. Namun cukup kuat untuk menarikku kembali pada kenyataan, kembali pada situasi yang terjadi di hadapanku.
“Gimana nih?”
Aku menatap gadisku itu, yang untuk pertama kalinya menatapku nanar penuh ketakutan, lalu ganti menatap tubuh bersimbah darah yang tergeletak di lantai.
Tubuhku sendiri terasa begitu lembab karena keringat dan darah yang membasahi hampir seluruh tubuhku. Belum lagi bau anyirnya yang terasa begitu menyesakkan, membuatku tertekan hingga tidak bias berpikir jernih.
“Sial! Ini belum pernah terjadi sebelumnya!!” aku mengumpat kesal.
“Kita harus pergi Roma…”
Bias kurasakan tangannya bergetar saat ia menyentuh lenganku.
“Enggak, kita gak punya kesempatan untuk pergi.” Otakku terasa berdenyut karena kupaksa berpikir keras “Tapi kamu bisa pergi May!”
“Apa?”
“Kamu harus pergi sekarang, sayang!”
“Enggak! Aku gak mau pergi kalau gak sama kamu!”
“Kamu harus pergi Maya!”
“Enggak!” walau bergetar, dapat kurasakan tekanan pada suaranya.
“Sial! Berhentilah berdebat sekarang dan turutilah aku kali ini!”
Diluar, selain suara sirine yang terus berdengung, mulai terdengar suara sang komandan polisi yang mengancam agar aku segera keluar.
“Tempat ini sudah terkepung!! Keluarlah dengan tangan terangkat…”
“Pergilah lewat pintu belakang, ada sebuah jalan kecil yang langsung menuju parit besar pembuangan limbah rumah ini. Susuri bagian dalam parit itu, kamu akan sampai ke jalan dekat pasar!”
Aku menekankan setiap kalimatnya, agar ia dapat mengingatnya dengan jelas.
“Tapi kita kan bias pergi bersama?!”
Aku menggeleng keras, dan itu membuat kepalaku bertambah sakit.
“Aku akan keluar, menyerahkan diri supaya kamu bisa pergi. Mereka gak akan curiga, akan kualihkan perhatiannya….” Aku sendiri tak tahu apa yang kubicarakan.
“Tapi Roma…”
“Kumohon, pergilah sayang!”
“Ta, tapi….”
“Cepat!”

*** ***

“Yo’i, Roma! My man!!” Aris, sohibku nge-gembel di jalanan menyapaku antusias.
“Oii Ris, ada kabar apa nih?”
Akuj menggeser dudukku, memberikan tempat untuknya agar bisa duduk bergabung bersama teman-temanku yang lainnya. Namun, rupanya angin malam terasa begitu dingin sampai membuatku tak ingin sedikitpun melepaskan pelukan tanganku yang melekat erat pada tubuh Maya, kekasihku. Padahal sebelah tanganku sibuk menggengam kartu-kartu yang tengah kupertaruhkan.
Jam-jam selepas isya begini, memang paling asyik nongkrong bareng teman-teman diatas dipan sambil main judi, apalagi kalau ditemani kekasih hati pembawa keberuntungan seperti Maya.
“Oi, ikutan gak lo?” Tanya Ombeng, temanku yang lain sambil melemparkan selembar kartu.
“Kagak ah, gak hoki gw judi gaplek begituan!” jawabnya sambil dengan seenaknya mengambil sebatang rokok kretek milikku yang tergeletak di dipan dan menghirupnya nikmat. Tentu saja, karena telah kuselipkan sedikit ganja di dalamnya.
“Terus lo hoki-nye maen apaan?” Tanya Ombeng lagi.
“Poker!”
“Anjrit, belagu lo! Gembel sial kayak lo aje, sok-sokan maen poker! Gaye lu selangit!” semburnya, yang cuma dibalas cengiran konyol dari Aris.
“Eh, ada yang mau gw omongin nih!” bisik Aris sambil menyikutku. “Biasa!”
Aku yang langsung mengerti maksudnya, menyudahi permainanku.
“Bro, gue udahan dulu dah! Ada urusan mendesak lain neh!” aku pamit undur diri.
Kulepaskan pelukanku pada tubuh Maya, mencium sekilas keningnya dan beranjak mengikuti Aris yang melangkah duluan di depanku.
“Apaan Ris?”
“Gue dapet target operasi baru neh, men!”
“Weits, oke gak?”
“Oke banget! Dah gue selidikin dah pokoknya!”
“Gimana? Gimana?” tanyaku antusias.
Lalu Aris menceritakan tentang rencananya yang biasa padaku, sebuah rencana perampokan lagi.
Aris memang lebih dari sekedar teman nongkrong dan bermain judi bagiku, ia adalah sohib kepercayaanku, dan juga rekan sejawatku dalam karir merampok. Sudah beberapa tahun ini kami telah berhasil melakukan banyak aksi perampokan, dan sejauh ini selalu berjalan lancar. Harus kuakui untuk seorang anak jalanan tak berpendidikan, otakna sangat lihai dan cerdas. Sebagian besar rencana selalu merupakan buah pemikirannya. Padahal aku adalah seorang tamatan SMA, seorang yang seharusnya beberapa tingkat lebih cerdas darinya. Tapi memang pekerjaan ini tidak menuntut riwayat pendidikan dalam syarat suksesnya, namun lebih kepada pengalaman dan nalar yang cepat tanggap.
Kembali soal rencana perampoka kami, rupanya ia telah mengawasi sebuah rumah gedong milik seorang mantan pejabat kota ini.
Adalah bapak Ramdan Warisman, mantan gubernur kota ini, sudah pasti seorang konglomerat. Aris bercerita tentang situasi yang telah ia awasi selama ini. Tentang sang konglomerat yang kini tinggal sendirian Karena sang isteri harus dirawat di sebuah rumah sakit di Singapura, dan tentang anak2nya yang tak lagi tinggal serumah, dan tentang ajudan-ajudannya yang tidak menginap.
Dapat kubayangkan betapa mudahnya pekerjaan ini.
“Jadi, okeh nih ye bro?” Tanya Aris sambil mengisap kembali rokok ganjanya.
“Yo’i…. gampang kayaknya Bro!!”
Pembicaraan pun telah mencapai sepakat. Aku bersiul, kembali ke mejaku, mendadak tak lagi tertarik pada judi bernilai ribu-ribuan itu.


*** ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar